[Buku 30, Fiksi 4]
Penulis [Ahmad Tohari]
Editor [-]
Penerbit [GPU]
Halaman [397]
Tahun [2003]
Sampul [Adi Permadi]
“Di belakangku Dukuh Paruk diam membisu. Namun segalanya masih utuh di sana: keramat Ki Secamenggala, kemelaratan, sumpah serapah, irama calung, dan seorang ronggeng.”
-Rasus, hal 107-
Story:
Dukuh Paruk adalah sebuah desa/dusun terpencil di Jawa Tengah. Dalam sebuah hasil wawancara yang pernah saya baca entah di mana (lupa^^), Dukuh Paruk ini benar-benar ada nyatanya, walau tentu saja nama sebenarnya bukan Dukuh Paruk (telah diganti demi menghormati privacy dusun tersebut).
Kehadiran seorang ronggeng setelah sekian lamanya, bernama Srintil, menghidupkan kembali Dukuh Paruk yang telah lama ‘mengering’. Dalam budaya mereka, ronggeng adalah seorang yang sangat dipuja dan dihormati. Dan menjadi ronggeng bukanlah sesuatu yang bisa dipelajari. Alam lah yang memilih seseorang untuk menjadi ronggeng.
Bagi Dukuh Paruk, seorang ronggeng bukan hanya sekedar menari belaka, namun juga melayani setiap laki-laki yang ingin tidur dengannya. Begitu pula dengan Srintil. Karena hal tersebut adalah budaya di tempat tersebut. Setiap laki-laki berusaha untuk mendekati Srintil. Dan Setiap wanita berlomba melayaninya dan saling bersaing membanggakan suami mereka. Karena jika Srintil bersedia melayani suami mereka, hal itu merupakan suatu kebanggaan.
Srintil yang telah menjadi milik semua orang itu membuat rasa cemburu timbul di hati Rasus, teman bermainnya sejak kecil. Bagi Srintil pun, Rasus berbeda dari semua laki-laki yang ada di Dukuh Paruk. Rasus memiliki tempat tersendiri di hati ronggeng itu. Namun dalam satu kesempatan, Rasus memilih untuk meninggalkan Dukuh Paruk dan menjadi tentara.
Perginya Rasus membuat Srintil ingin meninggalkan dunia ronggeng. Ia mulai menolak setiap laki-laki yang ingin tidur dengannya. Demi mimpinya menjadi seorang istri dan ibu, Srintil kemudian mengasuh Goder anak Tampi, seorang warga Dukuh Paruk.
Dan Dukuh Paruk mulai resah akan kembali kehilangan kebanggaan mereka, seorang ronggeng.
Ayu thinks:
Ronggeng Dukuh Paruk adalah sebuah novel luar biasa yang kaya akan unsur budaya, sosial maupun politik. Penulis mencoba memotret salah satu sisi budaya Indonesia yang suram, lengkap dengan kelaparan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh kebodohan masyarakatnya. Kejiwaan setiap karakternya tergali dengan baik. Bahkan pergantian point of view-nya sama sekali tidak mengganggu (saya).
Ronggeng Dukuh Paruk ini sebenarnya penyatuan dari trilogi Dukuh Paruk – Lintang Kemukus Dinihari – Jantera Bianglala. Dan saya tidak menyesal telat membaca buku ini, karena trilogi yang diterbitkan ulang dalam satu buku ini memasukkan kembali bagian-bagian yang ketika itu disensor.
Dan terusnya saya menunda-nunda untuk menyelesaikan buku ini (bukannya dihabiskan dalam sekali baca), mungkin adalah satu-satunya sebab kenapa saya memberi nilai empat (bukannya lima) dari lima bintang yang tersedia.
Posted in:
books,
GPU,
novel
on
Saturday, January 26, 2008
at
at
8:39 PM