Aku Terlahir 500 gr Dan Buta ~Ikitemasu, 15-sai~
Tiwuk Ikhtiari (Terj.)
Elex Media Komputindo
xiv + 183 hal.
* Dimuat di Harian Batam Pos, Minggu, 29 April 2007
Bagaimana rasanya hidup tanpa mampu menikmati seluruh pemandangan di dunia yang penuh warna ini? Bagaimana rasanya hidup tapi selalu terancam oleh kematian yang dapat menjemput kapan saja? Hanya mengandaikannya saja mungkin kita tidak mampu, sudah takut lebih dahulu. Tapi bagi seorang Miyuki Inoue, hal itu harus ia hadapi dalam setiap detik napasnya.
Ayah Miyuki meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Hal itu menyebabkan ibu Miyuki, Michiyo, yang sedang hamil dirinya menjadi shock berat. Terlebih lagi keluarga ayah Miyuki tidak menyukai Michiyo sehingga ia harus menanggung kesedihan seorang diri. Akibatnya tubuhnya menjadi rentan, padahal kandungannya sudah mencapai 6 bulan.
Akibat rentetan kejadian tersebut, Michiyo harus melahirkan saat itu juga. Maka lahirlah Miyuki dengan berat hanya 500 gram, seperenam dari berat bayi pada umumnya. Begitu kecilnya Miyuki hingga dapat digenggam dengan satu tangan.
Dokter terus mengatakan agar Michiyo menguatkan hatinya karena hidup Miyuki hanyalah tinggal beberapa hari saja. Tapi Michiyo melakukan yang sebaliknya, ia terus memohon pada Tuhan agar Miyuki dibiarkan hidup. Michiyo terus menemani bayi mungilnya yang berada dalam inkubator. Hingga suatu hari Miyuki membuka matanya dan jari-jari mungilnya mengenggam jari Michiyo.
Miyuki memang selamat dari kematian yang telah divoniskan oleh dokter, tapi dengan resiko berbagai penyakit dalam tubuhnya yang bisa berakibat fatal bila keadaan tubuhnya memburuk. Dan ia pun harus rela hidup dalam gelap karena terkena ROP – Retinophaty of Prematurity, suatu penyakit yang mudah membuat mata bayi prematur mengalami kebutaan akibat terlalu banyak menghirup oksigen dalam inkubator.
Miyuki hidup hanya berdua dengan ibunya. Beliau bisa dibilang keras dalam mendidiknya, hingga terkadang membuat Miyuki tertekan dan merasa benci padanya. Bahkan pernah sekali ia ingin bunuh diri. Tapi semua itu karena ibunya ingin orang-orang tidak menganggap Miyuki berbeda. Perlahan Miyuki mulai mengerti sikap keras sang ibu, walau terkadang mereka masih sering bertengkar.
Michiyo, sang ibu, dengan setia terus mendampingi setiap kehidupan Miyuki. Hingga Miyuki bertekad kalau suatu hari nanti ibunya menangis, itu adalah tangisan bahagia. Bukan lagi tangisan karena kesedihan dan rasa lelah yang selama ini dialaminya.
Autobiografi Miyuki ini ditulis dan diterbitkan pada tahun 2000, saat ia berumur 16 tahun. Sebelumnya Miyuki pernah memenangkan lomba mengarang tingkat nasional Jepang untuk karyanya yang berjudul Air Mata Ibu dan cerpen berjudul Diriku Dalam Genggaman. Miyuki juga menerima penghargaan pendidikan Fukuoka atas karyanya. Kita juga dapat melihat kehidupan Miyuki dalam foto-fotonya yang terlampir dalam buku ini.
Miyuki mengajarkan pada kita bahwa sebuah keinginan yang disertai usaha keras dapat membuahkan hasil. Dan cacat fisik bukanlah suatu halangan baginya, justru menjadikan dirinya lebih terpacu dalam menggapai mimpi-mimpinya. Seperti yang dirinya katakan “Karena aku cacat, aku harus berusaha lebih keras dari pada orang lain”.
Posted in: books, elex media, nonfiction on Monday, April 30, 2007 at at 1:29 PM 0 yang berbagi